Alhamdulillah, pada tahun
2012, Indonesia mendapat penghargaan sebegai penyelenggara haji terbaik di
dunia. Penilaian tersebut berdasarkan voting dari 5000 organisasi di dunia.
Indonesia dianggap sukses menyelenggarakan prosesi ibadah haji bagi
masyarakatnya yang jumlahnya terbanyak di dunia untuk melakukan ibadah haji.
Kita patut bersykur dan terus berupaya meningkatkannya.
Namun demikian, bukan
berarti kesuksesan penyelenggaran haji Indonesia tidak menghadapi persoalan
internal. Salah satu persoalan krusial yang harus ditemukan solusinya adalah
panjangnya antrian jamaah. Daftar tunggu jamaah haji di Indoensia rata-rata 12
tahun dengan jumlah total hampir mencapai 2,5 juta orang. Provinsi yang
memiliki masa tunggu terpendek adalah Maluku Utara yaitu 6 tahun, sedangkan
provinsi yang memiliki masa tunggu terpanjang adalah Sulawesi Selatan, yaitu 17
tahun. Masalah atrian jamaah haji juga dialami oleh seluruh negara di dunia.
Suolusi yang sekarang ini dimunculkan adalah menggantungkan kebijakan
Pemerintah Saudi Arabia, yaitu berharap agar kuota jamaah haji agar ditambah
untuk mengurangi jumlah daftar tunggu.
Makna Istitha’ah
Ibadah Haji merupakan
rukun Islam ke lima setelah syahadat, puasa, shalat dan zakat. Kewajiban haji
dibebankan kepada setiap muslim yang telah mampu, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Ali Imran ayat 97.
Makna istitha’ah telah
dibahas oleh para ulama, baik ulama fiqih, ahli tafsir maupun ahli hadits.
Mayoritas ulama medefinisikan makna Istitha’ah dengan zaad dan raahilah,
yaitu adanya bekal dan kemampuan di perjalanan. Oleh karena itu, siapapun
dari umat Islam yang telah memiki biaya cukup maka mereka mendaftarkan diri
untuk menjadi calon jamaah haji. Pengertian istitha’ah yang hanya
dipahami sebagai bekal materi ini menjadikan daftar tunggu haji semakin
panjang. Peraturan yang berlaku adalah siapapun orang muslim yang memiliki uang
muka sebesar 25 juta maka berhak mendaftar haji dan berhak mendapat nomor urut
tunggu. Seiring meningkatkanya pendapatan masyarakat maka jumlah pendaftar
calon jamaah haji akan terus meningkat. Jika hal ini terjadi maka daftar tunggu
antrian akan semakin panjang.
Pengembangan makna Istitrha’ah
menjadi sangat perlu untuk menjawab persoalan ini. Makna istitha’ah
meliputi beberapa hal: pertama; memiliki kemampuan bekal materi, baik untuk
pribadinya atau untuk keluarga. Kedua; memiliki kemampuan kesehatan badan.
Kedua; memiliki kemampuan ilmu dan mampu mempratekkan.
Makna ketiga dari istitha’ah,
perlu dikembangkan. Jika makna
pertama dan kedua sudah masuk dalam wilayah kebijakan pemerintah, maka
pengertian ketiga seyogyanya juga harus mendapat perhatian lebih dari
pemerintah. Walaupun sekarang pemerintah sudah berusaha meningkatkan
pengetahuan atau ilmu perhajian kepada jamaah haji bekerja sama dengan KBIH, namun
dirasakan belum maksimal.
Kemampuan ilmu fiqh haji
bagi setiap jamaah haji menjadi mutlaq diperlukan. Pemerintah bisa mengambil
kebijakan untuk memperketat persyaratan dalam ilmu fiqh haji bagi calon jamaah
yang akan mendaftar haji. Seorang yang akan mendaftar semestinya tidak hanya
memiliki kemampuan membayar biaya ongkos naik haji, namun juga harus sudah
mengusai ilmu tentang manasik haji. Ketika pengusaan ilmu manasik haji menjadi
syarat untuk mendaftar, maka yang akan muncul bukan lagi jamah bertanya tentang
kapan keberangkatannya, namun panitia atau kementerian Agama RI justru akan
bertanya ‘kapan anda siap berangkat?’.
Sebagaimana seseorang yang
hendak mengerjakan shalat, maka wajib bagi setiap individu untuk belajar ilmu
tentang shalat sebelum mengerjakan shalat. Demikian pula haji, setiap orang
yang hendak melaksanakan haji harus mengusai ilmu manasik haji untuk keabsahan
hajinya.
Syariat haji diwajibkan
terakhir setelah semua umat Nabi Muhammad dirasa telah siap melaksakan haji. Allah
SWT mewajibkan haji setelah semua syariat dari rukun Islam dilaksanakan oleh
Nabi SAW dan para sahabatnya. Hal ini
bisa dijadikan pelajaran, bahwa orang yang melaksankan haji haruslah orang yang
benar-benar sudah siap secara ilmu dan pengamalan rukun Islam. dengan kata
lain, seyogyanya orang yang akan pergi haji adalah orang yang sudah tertib
shalatnya, tertib puasanya dan sudah tertib hajinya.
Persoalan ini kurang
menjadi perhatian kita. Kita hanya menitik beratkan pada persoalan materi dalam
kemapuan ibadah haji. Sehingga persyaratan utama bagi calon jamaah haji hanya
pada kemampuan membayar biaya pendaftaran.
Persoalan lain yang bisa
teratasi dari kebijakan pengetatan dalam hal ilmu manasik haji ini adalah
masalah pembimbingan. Saat ini mayoritas jamaah haji yang akan berangkat tidak
menguasai ilmu haji dengan baik. Karena masih sering ditemukan jamaah haji yang
sedang berpakaian ihram tapi memakai celana dalam. Atau juga masih tidak tahu
urutan manasik haji. Mereka hanya pasrah dan bergantung kepada kepala
rombongan.
Pengetatan syarat
pendahtaran ini justru akan meningkatkan fungsi dan peran KBIH sebagai
majlis-majlis pembimbingan haji. Selain itu juga bisa ditingkatkan peran dan
fungsi Penyuluh Agama Islam yang selama ini telah mendapat gaji dari pemerintah.
Jika hal ini berjalan,
maka amanat undang-undang bahwa penyelenggaraan haji adalah oleh pemerintah dan
masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu, misi dan hikmah haji
kita akan bisa dirasakan atsarnya bagi seluruh masyarakat Indonesia
karena akan mendapat cipratan dari keberkahan jamaah haji. Haji mabrur
akan dibalas dengan surga dan dosanya diampuni, dari sini jamaah haji mampu
membawa perubahan bagi lingkungan sekitar. Harapan terbesar kita adalah jamaah
haji Indonesia mampu menjadi agen perubahan sosial menuju Indonesia yang thayibatun
warabbun ghafur. Kemabruran haji ditentukan salah satunya adalah memiliki
kemampuan ilmu manasik haji.
No comments :
Post a Comment