.permalink {border: 1px dotted #EFF0F1; padding: 5px; background: #AAFFA0;-moz-border-radius:5px;} .permalink a {background:none;} img.float-right {margin: 5px 0px 0 10px;} img.float-left {margin: 5px 10px 0 0px;}

ASBIHU NU

SELAMAT DATANG DI BLOG PENGURUS PUSAT ASOSASI BINA HAJI DAN UMRAH NAHDLATUL ULAMA (PP. ASBIHU NU) -- SELURUH PIMPINAN DAN STAF PP ASBIHU-NU MENGUCAPKAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH HAJI 1436 H SEMOGA MEMPEROLEH BALASAN HAJI MABRUR DAN DITERIMA AMALNYA SERTA SELALU MENDAPATKAN PERLINDUNGAN ALLAH SWT. آمِـــــيْنْ ...آمِـــــيْنْ ... يَا رَبَّ الْعَـــالَمِيْنْ

PP. ASBIHU NU


widget

Iklan

 photo addesign_zpshzefpw5i.gif

Khazanah


KH. Hasyim Asy’ari 

Berkelana Dari Pesantren ke Pesantren 
Untuk Dalami Agama

Kiai Hasyim Asy’ari lahir dari keluarga pesantren. Dia dilahirkan di Gedang Jombang pada hari selasa 24 Dzuhijjah 1287 H. / 14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, seorang Ulama’ yang berasal dari Demak. Dan ibunya Nyai Halimah, putri Kiai Usman pengasuh pesantren Gedang. Sejak kecil dia hidup di lingkungan pesantren hingga berusia enam tahun. Lalu diajak ayahnya yang mendirikan pondok pesantren di Keras. Di sinilah Hasyim kecil mulai menerima pelajaran dasar-dasar keagamaan yang diberikan ayahnya sendiri.
Disana dirinya juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Dia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal itu ditunjang pula oleh kecerdasannya yang brilian.
Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Karena kepandaianya, dirinya diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren. Lantaran merasa tak puas dengan ilmu yang diterimanya, maka saat berusia 15 tahuun dirinya mulai berkelana dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Mulai dari pondok pesantren Wonokoyo Probolinggo, pesantren Pelangitan Tuban, pesantren Trenggilin Semarang, pesantren di Madura, Pesantren Demangan, dan terakhir di pesantren Siwalan Surabaya. Setelah menetap dua tahun di sini, oleh Kiai Ya’kub pengasuh pesantren Siwalan dirinya dinikahkan dengan putrinya.
Pada tahun 1892, anak ketiga dari sebelas bersaudara ini berangkat ke tanah suci dan menetap selama 7 tahun. Di Makkah dia belajar pada para Ulama’ yang terkenal di sana. Seperti Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Rahmatullah, Syekh Sa’id Yamani, Syekh Sholeh Bafadhol, dan Syekh Sultan Hasyim Daghastani. Selain itu juga berguru kepada para Sayyid; seperti Sayyid Ahmad Zawawi, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi Mufti di Makkah. Selain belajar kepada ulama Hijaz, dia juga berguru kepada Ulama’ Indonesia sendiri yang mengajar disana. Seperti Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi dan Syekh Mahfuz al-Tarmisi asal Jawa Timur.
Karena ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim Asy’ari dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram – bersama tujuh ulama Indonesia lainnya. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti di Bombay India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadits di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Setelah mengantongi berbagai disiplin ilmu keislaman mulai ilmu tafsir, ilmu hadits, teologi, fiqh, tasawuf dan sebagainya, dirinya kembali ke Indonesia. Di sinilah dirinya mulai berjuang mengubah masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan. Tapi sebelumnya, dia singgah terlebih dahulu di Johor Malaysia untuk mengajar di sana. Baru pada tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air. Dan tak lama berselang, dirinya mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Dirinya banyak menerapkan pendidikan pesantren model baru; seperti memperkenalkan sistem pendidikan madrasah. Di tenga-tengah tradisi sorogan dan bandongan, Kiai Hasyim Asy’ari juga memasukkan kurikulum umum. Seperti pelajaran bahasa Indonesia, sejarah, matematika, geografi dan ilmu bumi. Disamping itu juga dikenalkan sistem musyawarah dan diskusi kelas, berorganisasi, serta berpidato.
Selain aktif mengembangkan pendidikan di pondok pesantren, Kiai Hasyim Asy’ari juga aktif menggerakkan umat lewat organisasi kemasyarakatan. Berkat kegetolan berorganisasinya, dirinya pernah menjabat sebagai Rais Akbar pertama organisasi NU, sebagai Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan juga sebagai Pimpinan Tertinggi Majelis Syura Muslim Indonesia (MASYUMI).
Lantaran makin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia, dirinya terpaksa melawannya dengan keras. Lalu Belanda pun membikin siasat, dengan mengirim seseorang yang disuruh membuat keonaran di pondok pesantren Tebuireng. Karena orang tersebut dihajar ramai-ramai oleh santri hingga tewas, maka Belanda pun menangkap Kiai Hasyim Asy’ari dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda ini, sanggup menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau pun dilepaskan dari jeratan hukum. Pihak Belanda pun marah, sehingga mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren Tebuireng. Hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, serta kitab-kitab kuning yang ada dihancurkan dan dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940-an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Karena Kiai Hasyim Asy’ari menolak melakukan Seikerei (kewajiban membungkukkan badan ke arah Tokyo sebagai penghormatan ke Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari), dirinya dijebloskan Jepang ke dalam penjara. Penahanannya dilakukan secara berpindah-pindah, mulai dari penjara Jombang, Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan Surabaya. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah 4 bulan dipenjara, pada tanggal 18 Agustus 1942 dirinya dibebaskan – lantaran banyak berdatangan protes dari para Kiai, santri dan masyarakat. Itu juga berkat lobi yang dilakukan putranya Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris datang kembali ke Indonesia pada tanggal 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy’ari bersama para Ulama’ mengeluarkan fatwa yang kemudian dikenal dengan Fatwa Resolusi Jihad. Fatwa tersebut berisi: “Bagi umat Islam yang telah dewasa berjuang melawan Belanda adalah fardhu ‘ain. Dan mati di medan perang dalam rangka memerangi musuh Islam adalah syahid dan masuk surga.”
Segera ribuan Kiai dan para santri bergerak ke Surabaya. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung, dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Maka pada tanggal 7 Nopember 1945, umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), dan memilih Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Umumnya. Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham.
Dipilihnya Kiai Hasyim Asy’ari karena dirinya memang dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan. Dirinya adalah sosok yang tak mau tinggal diam dalam membangun masyarakat, negara, dan bangsa. Lewat organisasi massa dan partai politik beliau memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, keamanan, dan kebahagiaan umat manusia sebagaimana cita-cita Islam.
Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Seperti ketika akan menentukan tanggal penyerbuan di Surabaya. Bung Tomo dan beberapa tokoh waktu itu datang di kediaman beliau. Maka malam itu juga mereka diajak melakukan shalat istikharah. Dan keesokan harinya, ditentukanlah waktu penyerangan itu adalah tanggal 10 Nopember 1945.
Maka Bung Tomo pun menggelorakan semangat untuk melakukan perlawanan bersenjata, melalui siaran radio. Melalui radio pula Bung Tomo memompa semangat “Arek-Arek Suroboyo”, yang punya semboyan lebih baik berjuang dan mati daripada hidup kembali dijajah. Kisah heroik pertempuran 10 Nopember 1945, adalah perang terbesar dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Itulah sebabnya, setiap tahunnya 10 Nopember diperingati sebagai hari Pahlawan.
Dua tahun setelah kemerdekaan, beliau pulang kepangkuan rahmatullah. Tepatnya, wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H. / 25 Juli 1947 M. Sebelum meninggal, beliau menerima seorang utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Mendengar paparan situasi di medan pertempuran, yang waktu itu Belanda banyak membantai rakyat tidak berdosa di Surabaya dan Malang, beliau langsung pingsan dan menghembuskan nafas terakhir pada saat menjelang Shubuh hari ketujuh Ramadhan. Guna mengenang jasa-jasa almarhum, Pemerintah Indonesia menganugerahkan penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri dapat diurutkan sebagai berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang).
KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul UlamaTanggal 31 Januari 1926 bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi keagamaan ini pun berkembang pesat dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga semakin besar. NU berperan besar bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Sebagai orang yang berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat bersifat toleran terhadap aliran atau pendapat yang berbeda dengan konsep dan pemikirannya. Ini dibuktikan dengan akrabnya beliau dengan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.. Ia mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah dengan menghindari perpecahan di tubuh umat Islam.
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Haji Hasyim Asy’ari juga termasuk sebagai penulis yang produktif. Karya-karya beliau merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid dan aqidah, beliau lalu menyusun kitab tentang aqidah; di antaranya al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawwuf.
Karya-karya beliau yang dapat ditelusuri hingga kini meliputi; at-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama, risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Mawaidz, Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’, an-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, at-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat, Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani, Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah, ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah, ar-Risalah fi al-’Aqaid, ar-Risalah fi at-Tasawwuf, dan Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih.
Karya yang tersebut terakhir itu, berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik. Ini merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Selain kitab-kitab tersebut, terdapat pula beberapa naskah manuskrip seperti Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari, ar-Risalah at-Tawhidiyah, al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id, ar-Risalah al-Jama’ah, Tamyiz al-Haqq min al-Bathil, al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus dan Manasik Shughra.(NM/Tokoh Indonesia)


Balada dan Drama Haji Laut

Kisah perjalanan haji laut menyenangkan. Tapi, bagi PT Arafat tercatat memilukan. Adakah skandal di dalamnya?

Jemaah haji tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 1970-an tak akan bisa begitu saja melupakan perjalanan haji laut yang dilaksanakan PT Arafat. Mereka akan ingat dengan baik nama-nama kapal seperti KM Gunung Djati, Tjut Njak Dhien, Pacific Abeto, Mei Abeto dan Le Havre Abeto.
Nama-nama kapal itu sangat tersohor dan melekat pada kenangan jemaah haji kita. Dulu tak dikenal kloter.Jika ditanya, tahun berapa naik hajinya dan apa kapalnya. Tapi, sejak tahun 1979, nama Arafat terkubur setelah Departemen Perhubungan secara resmi menutup perjalanan haji dengan laut tahun 1978. Padahal, PT Arafat sangat berharap bisa memberangkatkan jemaah haji lagi untuk menutupi hutangnya yang mencapai Rp 12,5 miliar.
Tapi, apa hendak dikata. Arafat tak lagi mendapatkan izin memberangkatkan jemaah haji lagi. Padahal, ada ratusan bahkan ribuan jemaah haji masih menunggu pemberangkatan melalui Arafat. Arafat sahamnya dimiliki 554.947 jemaah haji. Setiap jemaah haji diharuskan membeli saham Arafat sebesar Rp 50.000. Diantara pemilik saham itu muncul nama H. Adam Malik (wakil presiden saat Arafat dilikwidasi) dan Jendral Besar AH Nasution.
PT Arafat yang berkantor di gedung bertingkat tiga di Jalan Johar nomor 8, Jakarta Pusat itu, merupakan perusahaan besar, bonafide serta memberi kemewahan fasilitas di atas rata-rata kala itu. Garuda belum apa-apa dibanding Arafat. Perusahaan swasta yang dimotori pemerintah ini memberangkatkan ribuan jemaah haji, sementara Garuda hanya ratusan. Waktu itu jemaah haji masih sangat asing dengan penerbangan yang taripnya masih sangat mahal.
Adalah Ketua Dewan Urusan Haji yang juga sekaligus Menteri Kompartimen Kesejahteraan Rakyat H. Moeljadi Djojomartono pada tahun 1964 menginstruksikan pendirian PT Arafat dengan bentuk saham umat. Sejak  Desember 1964 sampai Juni 1968 sudah tercatat setengah juga lebih jemaah haji dengan uang masuk Rp 16 miliar. Kalau diteruskan, mungkin Arafat bisa menjadi perusahaan milik umat terbesar di dunia. Dengan modal sebanyak itu, Arafat sebenarnya bisa membeli 12 kapal.
Tapi, entah mengapa, Arafat hanya dibolehkan melakukan kontrak sewa-beli. Dan uangnya diblokir di Bank Indonesia sebagai jaminan untuk memperoleh kapal. Sayangnya, setelah dapat kapal Belle Abeto dan Pacific Abeto, keluarlah Penetapan Presiden No. 27 tahun 1966 yang menetapkan nilai Rp 1.000 uang lama menjadi Rp 1 uang baru. Penpres itu sekaligus memotong uang PT Arafat yang diblokir di Bank Indonesia berjumlah sekitar Rp 12,5 milyar uang lama. Sesudah terpotong, sisa uangnya hanya cukup buat tiga kali angsuran sewa-beli.
Uniknya lagi, nilai nominal saham PT Arafat yang semula Rp 50.000 uang lama seharusnya menjadi Rp 50 uang baru. Tapi pimpinan Arafat kemudian menetapkannya menjadi Rp 500 uang baru, sehingga tergambar kerugiannya. Pemerintah tetap berniat mempertahankan Arafat dengan masih tetap melanjutkan Keppres No 112/1964, yang memberi tugas kepada Arafat untuk "menyelenggarakan pengangkutan para jemaah haji."
Sebab, bagaimanapun, dengan monopoli mengangkut jemaah haji laut ini, Afafat pernah membukukan keuntungan sampai Rp 500 juta sampai Juni 1969. Tapi, pasar Arafat dikebiri pemerintah sendiri dengan kebijakan mengembangkan haji udara yang sejak tahun 1970-an mulai bersaing dengan tarip laut.
Jemaah haji laut menjadi kian merosot jumlahnya, dan penghasilan Arafat menjadi berkurang setiap tahun. Hutang-hutangnya pun semakin menumpuk. Lantas pemerintah menginstruksikan agar PT Pelayaran Arafat dilikwidasi saja. Perintah likwidasi ini disampaikan pada rapat pemilik saham yang dihadiri Wapres Adam Malik, Juni 1978. Alasannya, seperti diikemukakan sekretaris Wapres Prof. Dr. Selo Sumarjan, hutang Arafat sebesar Rp 12,5 milyar yang tak mungkin dicicil lagi. Menurut Jenderal (Purnawirawan) Dr A.H. Nasution, Arafat dimatikan oleh kebijakan pemerintah sendiri.  Jika pemerintah sudah menetapkan Arafat dilikwidasi, pemegam saham tidak dapat berbuat apa-apa. Menurut Nasution, Arafat tidak bermaksud tidak bayar hutang. Tapi, karena kran hidupnya sudah ditutup apa yang hendak dipakai untuk membayar lunas? Sedangkan kekayaan Arafat tidak lebih 20% dari hutangnya.
Maka fasilitas dari pemerintah (Departemen Agama) berupa jatah penumpang untuk Arafat yang berjalan sejak 1964 habislah sudah. Dan armadanya menjadi tidak bergerak. Jumlah hutang yang antara lain dari Bank Indonesia Rp 2 milyar, Bank Bumi Daya Rp 6 milyar, perusahaan galangan kapal di luar negeri Rp 4 milyar dan leveransir dalam negeri Rp 0,5 milyar. Kerugian Arafat mulai 1970 bukan hanya karena disaingi oleh angkutan udara, melainkan juga karena kebijaksanaan pemerintah yang berubah dalam menentukan pendapatan Arafat. Dasar kalkulasi tarif per jemaah yang dipakai pemerintah tidak masuk akal. Untuk periode 1970 sampai dengan 1973, misalnya, Arafat hanya diperkenankan memperhitungkan biaya tetap selama 7 bulan, biaya tidak tetap (variable) selama 5 bulan, dan tidak boleh memasukkan unsur laba dan kenaikan harga. Berarti, Arafat diharuskan bekerja dengan dasar pendapatan lebih rendah. Baru tahun 1974 biaya tetap dapat diperhitungkan 12 bulan. Itupun, Arafat ditekan tak ambil untung. Padahal, sejak 1970 subsidi haji diberhentikan yang akibatkan  Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 1969/1970 naik menjadi  Rp 182.000, dari Rp 165.000. Akibatnya jumlah calon jemaah haji laut yang semula diperkirakan 16.500 orang, turun menjadi 8.681 jemaah. Kejadian ini menurunkan pendapatan Arafat sebesar Rp 1,1 milyar. Krisis energi internasional (1973) dan penurunan nilai US dollar juga menimbulkan kerugian bagi Arafat. Banyak biaya yang dibayar dengan valuta asing di luar US dollar, padahal pendapatan Arafat didasarkan atas rupiah.
Tidak hanya itu. Juga kenaikan biaya bunker (bahan bakar mendadak) tidak sedikit. Penetapan tiket kapal laut waktu itu diadakan bulan Maret, sedang pelaksanaannya bulan Oktober. Antara Maret-Oktober terjadi kenaikan bunker yang membawa kerugian bagi Arafat US$8 juta. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Maka dalam situasi keuangan yang tidak menggembirakan ini musibah demi musibah terjadi atas kapal-kapal Arafat yang umumnya sudah tua itu.
Tampomas yang dicarter Arafat sampai dekat pelabuhan Jeddah menabrak batu karang, tak dapat membawa pulang jemaah haji. Kerugian yang ditimbulkan Tampomas ini meliputi Rp 197 juta. Di tahun 1974 itu juga, Pacific Abeto bertabrakan dengan Sam Ratulangi dari Djakarta Lloyd di alur pelayaran pelabuhan Tg Perak, Surabaya. Akibatnya, jemaah haji yang seharusnya diangkut kembali dari Jeddah oleh Tampomas dan Pacific Abeto terpaksa diangkut dengan pesawat udara atas biaya Arafat. Selain itu Belle Abeto pun mengalami kerusakan yang akhirnya ditarik ke Singapura untuk masuk dok. Tahun 1976, Belle Abeto terbakar dan tenggelam di Jepang.
Kesemuanya ini menimbulkan kerugian yang tak sedikit. Dalam keadaan yang sial ini, pemerintah menginstruksikan pula PT Arafat supaya mengganti mesin induk kapal Gunung Djati (milik pemerintah), dari uap ke diesel. Mesinnya diganti di Hongkong yang menelan biaya hampir US$ 4,7 juta. Dengan kata lain, uang rakyat "disumbangkan" untuk kapal pemerintah. Itulah dasar kerugian Arafat.
Namun pemerintah masih mencari jalan untuk menyelamatkannya. Mei 1977, Mayjen POM (Purn) Rushan Rusli diganti oleh Achmad Parwis Nasution sebagai Dir-Ut. Nasution yang mengambil serangkaian tindakan penyehatan dan penyelamatan. Musim haji 1977/1978, di bawah pimpinan eksekutif baru pemerintah memberi pinjaman tanpa bunga sekitar Rp 1 milyar untuk modal kerja. Tapi, yang dipergunakan hanya Rp 700 juta. Hutang ini sudah dibayar lunas. Bahkan hutang lama dapat dicicil Rp 500 juta. Pembayaran gaji karyawan berjalan lancar. Sebelumnya, tergantung kredit bank. Direksi mengetatkan pengeluaran perusahaan. Semua pembelian dilakukan dengan tender. Bahan makanan untuk awak kapal dari 11 macam dipotong menjadi beberapa macam saja. Perbaikan dan pengecatan kantor dikerjakan sendiri oleh para karyawan dengan suka hati. Bahkan biaya perawatan kesehatan dan rekening telepon rumah direksi tak lagi menjadi tanggungan Arafat.
Saat mulai semangat itu, mereka dikejutkan pengumuman pemerintah tentang ONH tahun 1978/1979 yang juga memutuskan untuk meniadakan pengangkutan haji. Ibarat pembunuhan terhadap sebuah tencana yang sudah disusun. Lagi, dalam surat Menteri Perhubungan RI tertanggal 29 April 1977 yang ditujukan kepada PT Arafat itu member peluang Arafat angkut jemaah udara. Nyatanya, jatah haji udara untuk Arafat dipotong begitu saja.
Itulah yang membuat banyak tokoh menganga. Mengapa perusahaan milik umat itu harus dibunuh. Hingga Muktamar Muhammadiyah tahun 1978 meminta perintah  mencarikan jalan keluar bagi kelangsungan cita-cita ummat Islam. Jemaah haji yang merasa memiliki saham Arafat umumnya menyerahkan saja nasib saham mereka kepada pemimpin-pemimpin yang duduk dalam Dewan Pengawas maupun Dewan Perwakilan Para Pemegang Saham PT Arafat.
Kehendak mengalihkan jemaah haji semuanya melalui udara, tak semulus yang dibayangkan. Tahun 1979, Garuda hanya sanggup memberangkatkan 6.500 jemaah haji. Ribuian jemaah haji tak bisa diberangkatkan. Sementara bralih ke kapal laut sudah tak diizinkan pemerintah. Sehingga jemaah haji dikecewakan berat karena kebijakan pemerintah yang dianggap tidak mengaca kepada kemampuan yang ada.
Masih banyak umat yang lebih suka kapal laut karena beberapa pertimbangan. Pertama, dapat lebih lama tinggal di Tanah Suci sehingga dapat melaksanakan ibadah lebih banyak. Kedua, selama di kapal bisa memperdalam manasik haji dan belajar agama. Ketiga, sekali angkut bisa ribuan jemaah terangkut. Misalnya, jemaah Aceh yang mencapai 3.250 jemaah, bisa berangkat sekaligus dalam satu kapal. haji yang wajib dan yang sunnat dengan khidmat. Keempat, oleh-oleh dapat dibawa dengan leluasa, meskipun pulang-pergi makan waktu 70 hari. Lewat udara hanya 35 hari. Taripnya, haji udara hanya Rp 816.000, lebuh murah Rp 189.000 dari haji laut.
Sebenarnya, penggunaan pesawat terbang sudah dimulai tahun 1952. Tetapi karena biayanya lebih mahal dari kapal laut, yaitu Rp 16.691 untuk pesawat dan Rp. 7.500 untuk kapal laut, udara kurang laku. Saat itu, hanya 293 orang naik Dacota DC3, sedangkan haji laut mencapai 14.031 orang.
Tapi, pemerintah, melalui Menteri Agama H. Alamsyah Ratuperwiranegara membantah ‘pembunuhan’ Arafat itu. Menurut Alamsjah, alasannya 100% tehnis-ekonomi. Tidak ada segi politisnya. Hanya, ada dua pos yang di luar wewenang Departemen Agama. Pertama, Arafat memerlukan injeksi Rp 100 juta sebagai modal kerja untuk mencicil hutang pada kapal di luar negeri. Kedua, kemungkinan tersanderanya kapal Arafat bisa disita saat menyandar di kolombo, misalnya, karena hutang itu. Kalau penahanan kapal haji Indonesia berulang kembali, jemaah Indonesia bisa terlantar, biaya bertambah dan pemerintah Indonesia bisa dituduh tidak bertanggung jawab terhadap jemaah hajinya.
Pernah dijajaki kapal Elizabeth dari Inggris yang sedang berada di Karibia, dan satu kapal Perancis yang dapat memuat 5.000 jemaah. Namun setelah dihitung, biaya haji bisa mencapai Rp 2 juta per jemaah yang terlalu mahal bagi kantung umat kala itu. Padahal, tarip yang ditetapkan Arafat Rp 955.000, dan tarip udara Rp 766.000. (MH)


No comments :

Post a Comment