KH. Hasyim Asy’ari
Berkelana Dari Pesantren ke Pesantren
Untuk
Dalami Agama
Kiai Hasyim
Asy’ari
lahir dari keluarga pesantren. Dia dilahirkan di Gedang Jombang pada hari
selasa 24 Dzuhijjah 1287 H. / 14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari,
seorang Ulama’ yang berasal dari Demak. Dan ibunya Nyai Halimah, putri Kiai
Usman pengasuh pesantren Gedang. Sejak kecil dia hidup di lingkungan pesantren
hingga berusia enam tahun. Lalu diajak ayahnya yang mendirikan pondok pesantren
di Keras. Di sinilah Hasyim kecil mulai menerima pelajaran dasar-dasar
keagamaan yang diberikan ayahnya sendiri.
Disana dirinya juga dapat melihat secara
langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup
menyatu bersama santri. Dia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh
kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar
pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal itu
ditunjang pula oleh kecerdasannya yang brilian.
Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu
mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Karena kepandaianya, dirinya diberi
kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren. Lantaran merasa
tak puas dengan ilmu yang diterimanya, maka saat berusia 15 tahuun dirinya
mulai berkelana dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Mulai dari pondok
pesantren Wonokoyo Probolinggo, pesantren Pelangitan Tuban, pesantren
Trenggilin Semarang, pesantren di Madura, Pesantren Demangan, dan terakhir di
pesantren Siwalan Surabaya. Setelah menetap dua tahun di sini, oleh Kiai Ya’kub
pengasuh pesantren Siwalan dirinya dinikahkan dengan putrinya.
Pada tahun 1892, anak ketiga dari
sebelas bersaudara ini berangkat ke tanah suci dan menetap selama 7 tahun. Di
Makkah dia belajar pada para Ulama’ yang terkenal di sana. Seperti Syekh Ahmad
Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Rahmatullah, Syekh Sa’id Yamani, Syekh
Sholeh Bafadhol, dan Syekh Sultan Hasyim Daghastani. Selain itu juga berguru
kepada para Sayyid; seperti Sayyid Ahmad Zawawi, Sayyid Sultan ibn Hasyim,
Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf,
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu
menjadi Mufti di Makkah. Selain belajar kepada ulama Hijaz, dia juga berguru
kepada Ulama’ Indonesia sendiri yang mengajar disana. Seperti Syekh Syuaib bin
Abdurrahman, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi dan Syekh Mahfuz al-Tarmisi asal
Jawa Timur.
Karena ilmunya dinilai mumpuni, Kiai
Hasyim Asy’ari dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram – bersama tujuh ulama
Indonesia lainnya. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara.
Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti di Bombay India), Syekh
Umar Hamdan (ahli hadits di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH.
Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan
(Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Setelah mengantongi berbagai disiplin
ilmu keislaman mulai ilmu tafsir, ilmu hadits, teologi, fiqh, tasawuf dan sebagainya,
dirinya kembali ke Indonesia. Di sinilah dirinya mulai berjuang mengubah
masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan. Tapi sebelumnya, dia singgah
terlebih dahulu di Johor Malaysia untuk mengajar di sana. Baru pada tahun 1899,
Kiai Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air. Dan tak lama berselang, dirinya
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Dirinya banyak menerapkan pendidikan
pesantren model baru; seperti memperkenalkan sistem pendidikan madrasah. Di
tenga-tengah tradisi sorogan dan bandongan, Kiai Hasyim Asy’ari juga memasukkan
kurikulum umum. Seperti pelajaran bahasa Indonesia, sejarah, matematika,
geografi dan ilmu bumi. Disamping itu juga dikenalkan sistem musyawarah dan
diskusi kelas, berorganisasi, serta berpidato.
Selain aktif mengembangkan pendidikan di
pondok pesantren, Kiai Hasyim Asy’ari juga aktif menggerakkan umat lewat
organisasi kemasyarakatan. Berkat kegetolan berorganisasinya, dirinya pernah
menjabat sebagai Rais Akbar pertama organisasi NU, sebagai Ketua Dewan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), dan juga sebagai Pimpinan Tertinggi Majelis Syura
Muslim Indonesia (MASYUMI).
Lantaran makin represifnya perlakuan
penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia, dirinya terpaksa melawannya dengan
keras. Lalu Belanda pun membikin siasat, dengan mengirim seseorang yang disuruh
membuat keonaran di pondok pesantren Tebuireng. Karena orang tersebut dihajar
ramai-ramai oleh santri hingga tewas, maka Belanda pun menangkap Kiai Hasyim
Asy’ari dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang
sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda ini, sanggup menepis semua tuduhan
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau pun dilepaskan dari jeratan hukum.
Pihak Belanda pun marah, sehingga mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren Tebuireng. Hampir seluruh bangunan pesantren
porak-poranda, serta kitab-kitab kuning yang ada dihancurkan dan dibakar.
Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi
fisik Tahun 1940-an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia
Belanda menyerah kepada Jepang. Karena Kiai Hasyim Asy’ari menolak melakukan
Seikerei (kewajiban membungkukkan badan ke arah Tokyo sebagai penghormatan ke
Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari), dirinya dijebloskan Jepang
ke dalam penjara. Penahanannya dilakukan secara berpindah-pindah, mulai dari
penjara Jombang, Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan Surabaya. Selama
dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah
satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah 4 bulan dipenjara, pada tanggal
18 Agustus 1942 dirinya dibebaskan – lantaran banyak berdatangan protes dari
para Kiai, santri dan masyarakat. Itu juga berkat lobi yang dilakukan putranya
Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar
Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Ketika tentara NICA (Netherland Indian
Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan
sekutu yang dipimpin Inggris datang kembali ke Indonesia pada tanggal 22
Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy’ari bersama para Ulama’ mengeluarkan fatwa yang
kemudian dikenal dengan Fatwa Resolusi Jihad. Fatwa tersebut berisi: “Bagi umat
Islam yang telah dewasa berjuang melawan Belanda adalah fardhu ‘ain. Dan mati
di medan perang dalam rangka memerangi musuh Islam adalah syahid dan masuk
surga.”
Segera ribuan Kiai dan para santri
bergerak ke Surabaya. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung, dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan
NICA dan Inggris. Maka pada tanggal 7 Nopember 1945, umat Islam membentuk
partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), dan memilih
Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Umumnya. Pembentukan Masyumi merupakan salah
satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham.
Dipilihnya Kiai Hasyim Asy’ari karena
dirinya memang dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam
gerakan laskar-laskar perjuangan. Dirinya adalah sosok yang tak mau tinggal
diam dalam membangun masyarakat, negara, dan bangsa. Lewat organisasi massa dan
partai politik beliau memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kemerdekaan,
kesejahteraan, keamanan, dan kebahagiaan umat manusia sebagaimana cita-cita
Islam.
Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo
senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Seperti ketika akan
menentukan tanggal penyerbuan di Surabaya. Bung Tomo dan beberapa tokoh waktu
itu datang di kediaman beliau. Maka malam itu juga mereka diajak melakukan
shalat istikharah. Dan keesokan harinya, ditentukanlah waktu penyerangan itu
adalah tanggal 10 Nopember 1945.
Maka Bung Tomo pun menggelorakan
semangat untuk melakukan perlawanan bersenjata, melalui siaran radio. Melalui
radio pula Bung Tomo memompa semangat “Arek-Arek Suroboyo”, yang punya semboyan
lebih baik berjuang dan mati daripada hidup kembali dijajah. Kisah heroik
pertempuran 10 Nopember 1945, adalah perang terbesar dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan. Itulah sebabnya, setiap tahunnya 10 Nopember
diperingati sebagai hari Pahlawan.
Dua tahun setelah kemerdekaan, beliau
pulang kepangkuan rahmatullah. Tepatnya, wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H.
/ 25 Juli 1947 M. Sebelum meninggal, beliau menerima seorang utusan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo. Mendengar paparan situasi di medan pertempuran, yang
waktu itu Belanda banyak membantai rakyat tidak berdosa di Surabaya dan Malang,
beliau langsung pingsan dan menghembuskan nafas terakhir pada saat menjelang
Shubuh hari ketujuh Ramadhan. Guna mengenang jasa-jasa almarhum, Pemerintah Indonesia
menganugerahkan penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim
Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan
Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab
Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang
kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah
Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah
Lembu Peteng (Brawijaya VII). Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri
dapat diurutkan sebagai berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka
Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda),
Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari
(Jombang).
KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul
UlamaTanggal 31 Januari 1926 bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi
keagamaan ini pun berkembang pesat dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga
semakin besar. NU berperan besar bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun
perkotaan di Jawa. Sebagai orang yang berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat
bersifat toleran terhadap aliran atau pendapat yang berbeda dengan konsep dan
pemikirannya. Ini dibuktikan dengan akrabnya beliau dengan KH Ahmad Dahlan
sebagai pendiri Muhammadiyah.. Ia mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah
dengan menghindari perpecahan di tubuh umat Islam.
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan
berjuang, Kiai Haji Hasyim Asy’ari juga termasuk sebagai penulis yang
produktif. Karya-karya beliau merupakan jawaban atas berbagai problematika
masyarakat. Misalnya ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid
dan aqidah, beliau lalu menyusun kitab tentang aqidah; di antaranya al-Qalaid
fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah
Wa al-Jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawwuf.
Karya-karya beliau yang dapat ditelusuri
hingga kini meliputi; at-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib
wa al-Ikhwan, Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama,
risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Mawaidz, Arba’in
Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’, an-Nur al-Mubin fi
Mahabbah Sayyid al-Mursalin, at-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi
al-Munkarat, Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat
as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, Ziyadat Ta’liqat a’la
Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani, Dhau’ul Misbah fi Bayan
Ahkam al-Nikah, ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah, ar-Risalah
fi al-’Aqaid, ar-Risalah fi at-Tasawwuf, dan Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih
al-Muallim fi Maqat Ta’limih.
Karya yang tersebut terakhir itu, berisi
tentang etika bagi para pelajar dan pendidik. Ini merupakan resume dari Adab
al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq
at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim
fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Selain kitab-kitab
tersebut, terdapat pula beberapa naskah manuskrip seperti Hasyiyah ‘ala Fath
ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya
al-Anshari, ar-Risalah at-Tawhidiyah, al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min
al-Aqa’id, ar-Risalah al-Jama’ah, Tamyiz al-Haqq min al-Bathil, al-Jasus fi
Ahkam al-Nuqus dan Manasik Shughra.(NM/Tokoh Indonesia)
Balada dan Drama Haji Laut
Kisah
perjalanan haji laut menyenangkan. Tapi, bagi PT Arafat tercatat memilukan.
Adakah skandal di dalamnya?
Jemaah
haji tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 1970-an tak akan bisa begitu saja
melupakan perjalanan haji laut yang dilaksanakan PT Arafat. Mereka akan ingat
dengan baik nama-nama kapal seperti KM Gunung Djati, Tjut Njak Dhien, Pacific
Abeto, Mei Abeto dan Le Havre Abeto.
Nama-nama
kapal itu sangat tersohor dan melekat pada kenangan jemaah haji kita. Dulu tak
dikenal kloter.Jika ditanya, tahun berapa naik hajinya dan apa kapalnya. Tapi,
sejak tahun 1979, nama Arafat terkubur setelah Departemen Perhubungan secara
resmi menutup perjalanan haji dengan laut tahun 1978. Padahal, PT Arafat sangat
berharap bisa memberangkatkan jemaah haji lagi untuk menutupi hutangnya yang
mencapai Rp 12,5 miliar.
Tapi,
apa hendak dikata. Arafat tak lagi mendapatkan izin memberangkatkan jemaah haji
lagi. Padahal, ada ratusan bahkan ribuan jemaah haji masih menunggu
pemberangkatan melalui Arafat. Arafat sahamnya dimiliki 554.947 jemaah haji.
Setiap jemaah haji diharuskan membeli saham Arafat sebesar Rp 50.000. Diantara
pemilik saham itu muncul nama H. Adam Malik (wakil presiden saat Arafat
dilikwidasi) dan Jendral Besar AH Nasution.
PT
Arafat yang berkantor di gedung bertingkat tiga di Jalan Johar nomor 8, Jakarta
Pusat itu, merupakan perusahaan besar, bonafide serta memberi kemewahan
fasilitas di atas rata-rata kala itu. Garuda belum apa-apa dibanding Arafat.
Perusahaan swasta yang dimotori pemerintah ini memberangkatkan ribuan jemaah
haji, sementara Garuda hanya ratusan. Waktu itu jemaah haji masih sangat asing
dengan penerbangan yang taripnya masih sangat mahal.
Adalah
Ketua Dewan Urusan Haji yang juga sekaligus Menteri Kompartimen Kesejahteraan
Rakyat H. Moeljadi Djojomartono pada tahun 1964 menginstruksikan pendirian PT
Arafat dengan bentuk saham umat. Sejak Desember 1964 sampai Juni 1968
sudah tercatat setengah juga lebih jemaah haji dengan uang masuk Rp 16 miliar.
Kalau diteruskan, mungkin Arafat bisa menjadi perusahaan milik umat terbesar di
dunia. Dengan modal sebanyak itu, Arafat sebenarnya bisa membeli 12 kapal.
Tapi,
entah mengapa, Arafat hanya dibolehkan melakukan kontrak sewa-beli. Dan uangnya
diblokir di Bank Indonesia sebagai jaminan untuk memperoleh kapal. Sayangnya,
setelah dapat kapal Belle Abeto dan Pacific Abeto, keluarlah Penetapan Presiden
No. 27 tahun 1966 yang menetapkan nilai Rp 1.000 uang lama menjadi Rp 1 uang
baru. Penpres itu sekaligus memotong uang PT Arafat yang diblokir di Bank
Indonesia berjumlah sekitar Rp 12,5 milyar uang lama. Sesudah terpotong, sisa
uangnya hanya cukup buat tiga kali angsuran sewa-beli.
Uniknya
lagi, nilai nominal saham PT Arafat yang semula Rp 50.000 uang lama seharusnya
menjadi Rp 50 uang baru. Tapi pimpinan Arafat kemudian menetapkannya menjadi Rp
500 uang baru, sehingga tergambar kerugiannya. Pemerintah tetap berniat
mempertahankan Arafat dengan masih tetap melanjutkan Keppres No 112/1964, yang
memberi tugas kepada Arafat untuk "menyelenggarakan pengangkutan para
jemaah haji."
Sebab,
bagaimanapun, dengan monopoli mengangkut jemaah haji laut ini, Afafat pernah
membukukan keuntungan sampai Rp 500 juta sampai Juni 1969. Tapi, pasar Arafat
dikebiri pemerintah sendiri dengan kebijakan mengembangkan haji udara yang
sejak tahun 1970-an mulai bersaing dengan tarip laut.
Jemaah
haji laut menjadi kian merosot jumlahnya, dan penghasilan Arafat menjadi
berkurang setiap tahun. Hutang-hutangnya pun semakin menumpuk. Lantas
pemerintah menginstruksikan agar PT Pelayaran Arafat dilikwidasi saja. Perintah
likwidasi ini disampaikan pada rapat pemilik saham yang dihadiri Wapres Adam
Malik, Juni 1978. Alasannya, seperti diikemukakan sekretaris Wapres Prof. Dr.
Selo Sumarjan, hutang Arafat sebesar Rp 12,5 milyar yang tak mungkin dicicil
lagi. Menurut Jenderal (Purnawirawan) Dr A.H. Nasution, Arafat dimatikan oleh
kebijakan pemerintah sendiri. Jika pemerintah sudah menetapkan Arafat
dilikwidasi, pemegam saham tidak dapat berbuat apa-apa. Menurut Nasution, Arafat
tidak bermaksud tidak bayar hutang. Tapi, karena kran hidupnya sudah ditutup
apa yang hendak dipakai untuk membayar lunas? Sedangkan kekayaan Arafat tidak
lebih 20% dari hutangnya.
Maka
fasilitas dari pemerintah (Departemen Agama) berupa jatah penumpang untuk
Arafat yang berjalan sejak 1964 habislah sudah. Dan armadanya menjadi tidak
bergerak. Jumlah hutang yang antara lain dari Bank Indonesia Rp 2 milyar, Bank
Bumi Daya Rp 6 milyar, perusahaan galangan kapal di luar negeri Rp 4 milyar dan
leveransir dalam negeri Rp 0,5 milyar. Kerugian Arafat mulai 1970 bukan hanya
karena disaingi oleh angkutan udara, melainkan juga karena kebijaksanaan
pemerintah yang berubah dalam menentukan pendapatan Arafat. Dasar kalkulasi
tarif per jemaah yang dipakai pemerintah tidak masuk akal. Untuk periode 1970
sampai dengan 1973, misalnya, Arafat hanya diperkenankan memperhitungkan biaya
tetap selama 7 bulan, biaya tidak tetap (variable) selama 5 bulan, dan tidak
boleh memasukkan unsur laba dan kenaikan harga. Berarti, Arafat diharuskan
bekerja dengan dasar pendapatan lebih rendah. Baru tahun 1974 biaya tetap dapat
diperhitungkan 12 bulan. Itupun, Arafat ditekan tak ambil untung. Padahal,
sejak 1970 subsidi haji diberhentikan yang akibatkan Ongkos Naik Haji
(ONH) tahun 1969/1970 naik menjadi Rp 182.000, dari Rp 165.000. Akibatnya
jumlah calon jemaah haji laut yang semula diperkirakan 16.500 orang, turun
menjadi 8.681 jemaah. Kejadian ini menurunkan pendapatan Arafat sebesar Rp 1,1
milyar. Krisis energi internasional (1973) dan penurunan nilai US dollar juga
menimbulkan kerugian bagi Arafat. Banyak biaya yang dibayar dengan valuta asing
di luar US dollar, padahal pendapatan Arafat didasarkan atas rupiah.
Tidak
hanya itu. Juga kenaikan biaya bunker (bahan bakar mendadak) tidak sedikit.
Penetapan tiket kapal laut waktu itu diadakan bulan Maret, sedang
pelaksanaannya bulan Oktober. Antara Maret-Oktober terjadi kenaikan bunker yang
membawa kerugian bagi Arafat US$8 juta. Malang tak dapat ditolak, mujur tak
dapat diraih. Maka dalam situasi keuangan yang tidak menggembirakan ini musibah
demi musibah terjadi atas kapal-kapal Arafat yang umumnya sudah tua itu.
Tampomas
yang dicarter Arafat sampai dekat pelabuhan Jeddah menabrak batu karang, tak
dapat membawa pulang jemaah haji. Kerugian yang ditimbulkan Tampomas ini
meliputi Rp 197 juta. Di tahun 1974 itu juga, Pacific Abeto bertabrakan dengan
Sam Ratulangi dari Djakarta Lloyd di alur pelayaran pelabuhan Tg Perak,
Surabaya. Akibatnya, jemaah haji yang seharusnya diangkut kembali dari Jeddah oleh
Tampomas dan Pacific Abeto terpaksa diangkut dengan pesawat udara atas biaya
Arafat. Selain itu Belle Abeto pun mengalami kerusakan yang akhirnya ditarik ke
Singapura untuk masuk dok. Tahun 1976, Belle Abeto terbakar dan tenggelam di
Jepang.
Kesemuanya
ini menimbulkan kerugian yang tak sedikit. Dalam keadaan yang sial ini,
pemerintah menginstruksikan pula PT Arafat supaya mengganti mesin induk kapal
Gunung Djati (milik pemerintah), dari uap ke diesel. Mesinnya diganti di
Hongkong yang menelan biaya hampir US$ 4,7 juta. Dengan kata lain, uang rakyat
"disumbangkan" untuk kapal pemerintah. Itulah dasar kerugian Arafat.
Namun
pemerintah masih mencari jalan untuk menyelamatkannya. Mei 1977, Mayjen POM
(Purn) Rushan Rusli diganti oleh Achmad Parwis Nasution sebagai Dir-Ut.
Nasution yang mengambil serangkaian tindakan penyehatan dan penyelamatan. Musim
haji 1977/1978, di bawah pimpinan eksekutif baru pemerintah memberi pinjaman
tanpa bunga sekitar Rp 1 milyar untuk modal kerja. Tapi, yang dipergunakan
hanya Rp 700 juta. Hutang ini sudah dibayar lunas. Bahkan hutang lama dapat
dicicil Rp 500 juta. Pembayaran gaji karyawan berjalan lancar. Sebelumnya,
tergantung kredit bank. Direksi mengetatkan pengeluaran perusahaan. Semua
pembelian dilakukan dengan tender. Bahan makanan untuk awak kapal dari 11 macam
dipotong menjadi beberapa macam saja. Perbaikan dan pengecatan kantor
dikerjakan sendiri oleh para karyawan dengan suka hati. Bahkan biaya perawatan
kesehatan dan rekening telepon rumah direksi tak lagi menjadi tanggungan
Arafat.
Saat
mulai semangat itu, mereka dikejutkan pengumuman pemerintah tentang ONH tahun
1978/1979 yang juga memutuskan untuk meniadakan pengangkutan haji. Ibarat
pembunuhan terhadap sebuah tencana yang sudah disusun. Lagi, dalam surat
Menteri Perhubungan RI tertanggal 29 April 1977 yang ditujukan kepada PT Arafat
itu member peluang Arafat angkut jemaah udara. Nyatanya, jatah haji udara untuk
Arafat dipotong begitu saja.
Itulah
yang membuat banyak tokoh menganga. Mengapa perusahaan milik umat itu harus
dibunuh. Hingga Muktamar Muhammadiyah tahun 1978 meminta perintah
mencarikan jalan keluar bagi kelangsungan cita-cita ummat Islam. Jemaah haji
yang merasa memiliki saham Arafat umumnya menyerahkan saja nasib saham mereka
kepada pemimpin-pemimpin yang duduk dalam Dewan Pengawas maupun Dewan
Perwakilan Para Pemegang Saham PT Arafat.
Kehendak
mengalihkan jemaah haji semuanya melalui udara, tak semulus yang dibayangkan.
Tahun 1979, Garuda hanya sanggup memberangkatkan 6.500 jemaah haji. Ribuian
jemaah haji tak bisa diberangkatkan. Sementara bralih ke kapal laut sudah tak
diizinkan pemerintah. Sehingga jemaah haji dikecewakan berat karena kebijakan
pemerintah yang dianggap tidak mengaca kepada kemampuan yang ada.
Masih
banyak umat yang lebih suka kapal laut karena beberapa pertimbangan. Pertama,
dapat lebih lama tinggal di Tanah Suci sehingga dapat melaksanakan ibadah lebih
banyak. Kedua, selama di kapal bisa memperdalam manasik haji dan belajar agama.
Ketiga, sekali angkut bisa ribuan jemaah terangkut. Misalnya, jemaah Aceh yang
mencapai 3.250 jemaah, bisa berangkat sekaligus dalam satu kapal. haji yang
wajib dan yang sunnat dengan khidmat. Keempat, oleh-oleh dapat dibawa dengan
leluasa, meskipun pulang-pergi makan waktu 70 hari. Lewat udara hanya 35 hari. Taripnya,
haji udara hanya Rp 816.000, lebuh murah Rp 189.000 dari haji laut.
Sebenarnya,
penggunaan pesawat terbang sudah dimulai tahun 1952. Tetapi karena biayanya
lebih mahal dari kapal laut, yaitu Rp 16.691 untuk pesawat dan Rp. 7.500 untuk
kapal laut, udara kurang laku. Saat itu, hanya 293 orang naik Dacota DC3,
sedangkan haji laut mencapai 14.031 orang.
Tapi,
pemerintah, melalui Menteri Agama H. Alamsyah Ratuperwiranegara membantah
‘pembunuhan’ Arafat itu. Menurut Alamsjah, alasannya 100% tehnis-ekonomi. Tidak
ada segi politisnya. Hanya, ada dua pos yang di luar wewenang Departemen Agama.
Pertama, Arafat memerlukan injeksi Rp 100 juta sebagai modal kerja untuk
mencicil hutang pada kapal di luar negeri. Kedua, kemungkinan tersanderanya
kapal Arafat bisa disita saat menyandar di kolombo, misalnya, karena hutang
itu. Kalau penahanan kapal haji Indonesia berulang kembali, jemaah Indonesia
bisa terlantar, biaya bertambah dan pemerintah Indonesia bisa dituduh tidak
bertanggung jawab terhadap jemaah hajinya.
Pernah
dijajaki kapal Elizabeth dari Inggris yang sedang berada di Karibia, dan satu
kapal Perancis yang dapat memuat 5.000 jemaah. Namun setelah dihitung, biaya
haji bisa mencapai Rp 2 juta per jemaah yang terlalu mahal bagi kantung umat
kala itu. Padahal, tarip yang ditetapkan Arafat Rp 955.000, dan tarip udara Rp
766.000. (MH)
No comments :
Post a Comment