Tawaran
Bank Pembangunan Islam atau IDB (Islamic Development Bank) kepada Kementerian
Agama (Kemenag) agar seluruh jamaah haji Indonesia melakukan pembayaran dam
melalui bank itu perlu kajian yang cermat dengan mengedepankan kehati-hatian. Pembayaran
dam sejatinya menyangkut keyakinan sah-tidaknya seseorang menunaikan ibadah
haji. Karena itu, jika hal itu dipaksakan pembayarannya bisa berdampak luas.
Sesungguhnya dam itu adalah tanggung jawab individu bagi jamaah haji yang berhaji dengan “haji tamatu atau qiran”. Berbagai literatur menyebut bahwa ibadah ini merupakan jenis ritual yang kental dengan berbagai syarat dan ketentuan. Misalnya, seseorang yang melaksanakan “haji tamatu” atau “qiran” diwajibkan membayar dam (denda).
Sesungguhnya dam itu adalah tanggung jawab individu bagi jamaah haji yang berhaji dengan “haji tamatu atau qiran”. Berbagai literatur menyebut bahwa ibadah ini merupakan jenis ritual yang kental dengan berbagai syarat dan ketentuan. Misalnya, seseorang yang melaksanakan “haji tamatu” atau “qiran” diwajibkan membayar dam (denda).
Dalam
ensiklopedi fikih yang berjudul al- Wajiz fi Fiqh as-Sunnah wa al-Kitab
al-Aziz, dijelaskan pengertian, sebab, dan jenis-jenis dam. Dam, menurut
etimologi, adalah darah. Bentuk dam paling utama adalah berwujud penyembelihan
hewan ternak dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Akhir
tahun 2013, mengemuka discursus tentang perlu tidaknya Pemerintah mengatur
pembayaran Dam bagi jama’ah haji Indonesia, khususnya Dam haji Tamattu’ dan
haji Qiran tetapi masalah ini kemudian tenggelam. Masalah ini kembali mencuat
pasca penyelenggaraan haji 1435H/2014M.
Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat (Balitbang-Diklat) pun
berinisiatif membahas di forum Halaqah Ulama tentang “Mekanisme
Pelaksanaan dan Pemanfaatan Daging Dam Haji” di Wisma Haji Ciloto, Sabtu 6
Desember 2014.
Hadir
berbicara dalam acara halaqah ini Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Abdul Djamil, Syuriah PBNU KH Afifudin Muhajir, Ketua Lembaga
Tarjih Muhammadiyah Yunahar Ilyas, dan Dosen UIN Jakarta Munzir Suparta.
Sebagai penyaji makalah dalam acara ini adalah KH Cholil Navis (MUI
Pusat) dan KH Muchlis A. Hanafi (Balitbang Kemenag).
Selain
itu, halaqah ulama ini juga diikuti para kiai pondok pesantren, Ketua MUI di 6
Propinsi (Jatim, Jateng, DIY, Jabar, DKI, dan Banten), Kabid Haji dan Umrah,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Pendidikan Tinggi Agama Islam, serta ormas
Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persis,
Al-Wasliyah, Dewan Dakwah Islam (DDI), KBIH dan IPHI.
Kepala
Balitbang-Diklat Abdurrahman Mas’ud mengatakan pembayaran dam jamaah haji
Indonesia dihadapkan kepada beberapa permasalahan, diantaranya: rawan
penyimpangan, tidak amanah, dilaksanakan tidak sesuai ketentuan syar`i,
distribusi daging yang tidak tepat sasaran karena diduga daging diselundupkan
ke beberapa wilayah Saudi Arabia dan dijual ke toko-toko dan restoran-restoran.
Maka
untuk mengantisipasi berbagai penyimpangan salah satunya dapat mengambil
pilihan kerjasama Kemenag RI dan Pemerintah Arab Saudi melalui Islamic
Development Bank (IDB), dengan membentuk proyek Adhahi. Hal ini didasarkan
kepada jumlah jamaah haji Indonesia yang cukup besar, dan potensi ekonomi dari
pelaksanaan al-hadyu (pembayaran dam). IDB sebagai salah satu lembaga keuangan
Islam menyiapkan infrastruktur pelaksanaan kegiatan pengadaan, penyembelihan,
dan distribusi hasil dari hewan Dam.
Namun
demikian, lanjut Abdurahman Mas’ud, jika pilihan ini diambil (ada kerjasama
Kemenag-IDB), bagaimana ketentuan fiqih dalam hal pelaksanaan al-hadyu
menyangkut: jenis-jenis dam, antara bayar dam dan puasa, waktu pelaksanaannya,
tempat pelaksanaannya, dan distribusi daging, dan lain-lain. “Selain itu,
bagaimana mekanisme pembayarannya? Atau dari mana dana pembayaran dam
diambilkan?,” tegas Abdurahman Mas’ud.
Setelah
melalui serangkaian pembahasan, Halaqah Ulama ini menghasilkan rekomendasi
sebagai berikut: Pertama, para ulama memberikan apresiasi atas kinerja
kementerian Agama dalam menyelenggarakan ibadah haji dan mendorong untuk terus
meningkatkan pelayanan ibadah haji antara lain dengan memberikan perlindungan
terhadap para jamaah.
Kedua,
pengaturan pembayaran Dam bagi jama’ah haji Indonesia, khususnya Dam haji
Tamattu’ dan haji Qiran, perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia (Kementerian
Agama RI). Ketiga, Kementerian Agama RI perlu bekerjasama dengan lembaga
lain, baik dalam atau luar negeri untuk memfasilitasi pembayaran dan distribusi
Dam jama’ah haji Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan, kemaslahatan,
dan jaminan pelaksanaan haji secara syar’i.
Keempat,
pelaksanaan penyembelihan hewan Dam harus dilaksanakan di Mina atau seluruh
tanah Haram, sedangkan distribusinya diutamakan bagi penduduk tanah Haram dan
selebihnya didistribusikan kepada umat muslim yang membutuhkan, termasuk
masyarakat di Indonesia;
Kelima,
pembelian hewan al-hadyu (pembayaran dam) dibebankan kepada jama’ah haji,
tetapi pemotongan dan distribusi daging Dam dapat dibiayai oleh Pemerintah dari
dana optimalisasi Biaya Penyelenggaraan Ibdah Haji (BPIH). Keenam, Pemerintah
dapat meneruskan kerjasama dengan Adlahi Project IDB dalam pelaksanaan al-hadyu
dan distribusi dagingnya, dengan tetap memperhatikan agar manfaatnya kembali
kepada rakyat Indonesia;
Ketujuh,
Pemerintah hendaklah berkoordinasi dengan MUI dalam rangka pelaksanaan
dan pendistribusian Dam haji. Dan, kedelapan, hasil Halaqah ini agar
disosialisasikan kepada Ormas-Ormas Islam, termasuk MUI, sebagai penguatan
rekomendasi ketika dimajukan ke DPR RI.
Sekaitan
dengan dilangsungkannya halaqah tersebut Pengurus Pusat Asosiasi Bina Haji dan
Umrah Nahdlatul Ulama (PP Asbihu NU) menyambut baik atas terselenggaranya
halaqah. Namun demikian, Asbihu NU tetap mengingatkan agar pemerintah
mengedepankan sikap hati-hati dan transparan jika pembayaran Dam haji dilakukan
melalui Islamic Development Bank (IDB). Karena dari sisi syar'i, dam itu
kewajiban sakhsiyah, kewajiban individual dan karena itu harus disosialisasikan
dengan baik.
Lagi
pula, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, harus menjelaskan rencana
pembayaran Dam haji melalui kerja sama IDB. Tahun lalu rencananya akan
direalisasikan, kemudian dibatalkan. Lalu, sekarang ada keinginan kuat untuk
kerja sama lagi dengan IDB.
"Ini
ada apa, harus dijelaskan kepada publik," pinta Wakil Ketua Umum Asosiasi
Bina Haji dan Umroh Nahdlatul Ulama (Asbihu-NU) KH Hafidz Taftazani di
kantornya Jl. Basuki Rahmat, Kp. Melayu, Jakarta, Rabu 10 Desember 2014.
Dalam
realitasnya, menurut Hafidz Taftazan, pembayaran Dam haji sudah ada
sindikatnya. Tidak jarang jamaah haji di Saudi Arabia tertipu karena
ketidaktahuannya kepada siapa pembayaran Dam haji harus diberikan.
Karena
itu jika Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) berkeinginan melakukan
pembayaran melalui kerja sama dengan IDB, perlu dilakukan sosialisasi.
Latar-belakang dan manfaatnya harus jelas. Terlebih jika pembayarannya
menggunakan dana Biaya Penyelenggaraan Haji Indonesia (BPIH) atau dana optimalisasi.
Atas
pertanyaan apakah boleh kalau bayar dam di Indonesia, Hafidz Taftazani membolehkan.
“Boleh saja bayar di Indonesia, tetapi siapa yang menangani, pemerintah?
sementara pejabat pemerintah tidak diperbolehkan memobilisasi uang masyarakat
karena ini bertentangan dengan UU keuangan Negara,” tegasnya.
Menurut
Hafidz, Asbihu NU sebenarnya sudah sejak awal merencanakan mengumpulkan uang
dam tetapi karena sulitnya meyakinkan jamaah bahkan jamaah sendiri tampaknya
lebih suka bayar dam atau beli hewan dam melalui sindikat pemotongan dam.
Padahal dengan bayar 450 real melalui KBIH jamaah sudah diberi bonus yakni
digratiskan ziarah di Makkah dan makan siang selama perjalanan ziarah.
No comments :
Post a Comment