.permalink {border: 1px dotted #EFF0F1; padding: 5px; background: #AAFFA0;-moz-border-radius:5px;} .permalink a {background:none;} img.float-right {margin: 5px 0px 0 10px;} img.float-left {margin: 5px 10px 0 0px;}

ASBIHU NU

SELAMAT DATANG DI BLOG PENGURUS PUSAT ASOSASI BINA HAJI DAN UMRAH NAHDLATUL ULAMA (PP. ASBIHU NU) -- SELURUH PIMPINAN DAN STAF PP ASBIHU-NU MENGUCAPKAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH HAJI 1436 H SEMOGA MEMPEROLEH BALASAN HAJI MABRUR DAN DITERIMA AMALNYA SERTA SELALU MENDAPATKAN PERLINDUNGAN ALLAH SWT. آمِـــــيْنْ ...آمِـــــيْنْ ... يَا رَبَّ الْعَـــالَمِيْنْ

PP. ASBIHU NU


widget

Iklan

 photo addesign_zpshzefpw5i.gif

Tuesday 16 December 2014

Pembayaran Dam Digagas Lagi

Tawaran Bank Pembangunan Islam atau IDB (Islamic Development Bank) kepada Kementerian Agama (Kemenag) agar seluruh jamaah haji Indonesia melakukan pembayaran dam melalui bank itu perlu kajian yang cermat dengan mengedepankan kehati-hatian. Pembayaran dam sejatinya menyangkut keyakinan sah-tidaknya seseorang menunaikan ibadah haji. Karena itu, jika hal itu dipaksakan pembayarannya bisa berdampak luas.

Sesungguhnya dam itu adalah tanggung jawab individu bagi jamaah haji yang berhaji dengan “haji tamatu atau qiran”. Berbagai literatur menyebut bahwa ibadah ini merupakan jenis ritual yang kental dengan berbagai syarat dan ketentuan. Misalnya, seseorang yang melaksanakan “haji tamatu” atau “qiran” diwajibkan membayar dam (denda).
Dalam ensiklopedi fikih yang berjudul al- Wajiz fi Fiqh as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz, dijelaskan pengertian, sebab, dan jenis-jenis dam. Dam, menurut etimologi, adalah darah. Bentuk dam paling utama adalah berwujud penyembelihan hewan ternak dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Akhir tahun 2013, mengemuka discursus tentang perlu tidaknya Pemerintah mengatur pembayaran Dam bagi jama’ah haji Indonesia, khususnya Dam haji Tamattu’ dan haji Qiran tetapi masalah ini kemudian tenggelam. Masalah ini kembali mencuat pasca penyelenggaraan  haji 1435H/2014M.  
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat (Balitbang-Diklat) pun berinisiatif membahas di forum Halaqah  Ulama tentang “Mekanisme Pelaksanaan dan Pemanfaatan Daging Dam Haji” di Wisma Haji Ciloto, Sabtu 6 Desember 2014.
Hadir berbicara dalam acara halaqah ini Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah  Abdul Djamil, Syuriah PBNU KH Afifudin Muhajir, Ketua  Lembaga Tarjih Muhammadiyah Yunahar Ilyas, dan Dosen UIN Jakarta Munzir Suparta.  Sebagai penyaji makalah dalam acara ini adalah KH Cholil Navis (MUI Pusat) dan  KH Muchlis A. Hanafi (Balitbang Kemenag).
Selain itu, halaqah ulama ini juga diikuti para kiai pondok pesantren, Ketua MUI di 6 Propinsi (Jatim, Jateng, DIY, Jabar, DKI, dan Banten), Kabid Haji dan Umrah, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Pendidikan Tinggi Agama Islam, serta ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persis, Al-Wasliyah, Dewan Dakwah Islam (DDI), KBIH dan IPHI.
Kepala Balitbang-Diklat Abdurrahman Mas’ud mengatakan pembayaran dam jamaah haji Indonesia dihadapkan kepada beberapa permasalahan, diantaranya: rawan penyimpangan, tidak amanah, dilaksanakan tidak sesuai ketentuan syar`i, distribusi daging yang tidak tepat sasaran karena diduga daging diselundupkan ke beberapa wilayah Saudi Arabia dan dijual ke toko-toko dan restoran-restoran.
Maka untuk mengantisipasi berbagai penyimpangan salah satunya dapat mengambil pilihan kerjasama Kemenag RI dan Pemerintah Arab Saudi melalui Islamic Development Bank (IDB), dengan membentuk proyek Adhahi. Hal ini didasarkan kepada jumlah jamaah haji Indonesia yang cukup besar, dan potensi ekonomi dari pelaksanaan al-hadyu (pembayaran dam). IDB sebagai salah satu lembaga keuangan Islam menyiapkan infrastruktur pelaksanaan kegiatan pengadaan, penyembelihan, dan distribusi hasil dari hewan Dam. 
Namun demikian, lanjut Abdurahman Mas’ud, jika pilihan ini diambil (ada kerjasama Kemenag-IDB), bagaimana ketentuan fiqih dalam hal pelaksanaan al-hadyu menyangkut: jenis-jenis dam, antara bayar dam dan puasa, waktu pelaksanaannya, tempat pelaksanaannya, dan distribusi daging, dan lain-lain. “Selain itu, bagaimana mekanisme pembayarannya? Atau dari mana dana pembayaran dam diambilkan?,” tegas Abdurahman Mas’ud. 
Setelah melalui serangkaian pembahasan, Halaqah Ulama ini menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:  Pertama, para ulama memberikan apresiasi atas kinerja kementerian Agama dalam menyelenggarakan ibadah haji dan mendorong untuk terus meningkatkan pelayanan ibadah haji antara lain dengan memberikan perlindungan terhadap para jamaah.
Kedua, pengaturan pembayaran Dam bagi jama’ah haji Indonesia, khususnya Dam haji Tamattu’ dan haji Qiran, perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia (Kementerian Agama RI). Ketiga,  Kementerian Agama RI perlu bekerjasama dengan lembaga lain, baik dalam atau luar negeri untuk memfasilitasi pembayaran dan distribusi Dam jama’ah haji Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan, kemaslahatan, dan jaminan pelaksanaan haji secara syar’i. 
Keempat, pelaksanaan penyembelihan hewan Dam harus dilaksanakan di Mina atau seluruh tanah Haram, sedangkan distribusinya diutamakan bagi penduduk tanah Haram dan selebihnya didistribusikan kepada umat muslim yang membutuhkan, termasuk masyarakat di Indonesia; 
Kelima,  pembelian hewan al-hadyu (pembayaran dam) dibebankan kepada jama’ah haji, tetapi pemotongan dan distribusi daging Dam dapat dibiayai oleh Pemerintah dari dana optimalisasi Biaya Penyelenggaraan Ibdah Haji (BPIH). Keenam, Pemerintah dapat meneruskan kerjasama dengan Adlahi Project IDB dalam pelaksanaan al-hadyu dan distribusi dagingnya, dengan tetap memperhatikan agar manfaatnya kembali kepada rakyat Indonesia; 
Ketujuh,  Pemerintah hendaklah berkoordinasi dengan MUI dalam rangka pelaksanaan dan pendistribusian Dam haji. Dan, kedelapan, hasil Halaqah ini agar disosialisasikan kepada Ormas-Ormas Islam, termasuk MUI, sebagai penguatan rekomendasi ketika dimajukan ke DPR RI.
Sekaitan dengan dilangsungkannya halaqah tersebut Pengurus Pusat Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (PP Asbihu NU) menyambut baik atas terselenggaranya halaqah. Namun demikian, Asbihu NU tetap mengingatkan agar pemerintah mengedepankan sikap hati-hati dan transparan jika pembayaran Dam haji dilakukan melalui Islamic Development Bank (IDB). Karena dari sisi  syar'i, dam itu kewajiban sakhsiyah, kewajiban individual dan karena itu harus disosialisasikan dengan baik.

Lagi pula, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, harus menjelaskan rencana pembayaran Dam haji melalui kerja sama IDB. Tahun lalu rencananya akan direalisasikan, kemudian dibatalkan. Lalu, sekarang ada keinginan kuat untuk kerja sama lagi dengan IDB.

"Ini ada apa, harus dijelaskan kepada publik," pinta Wakil Ketua Umum Asosiasi Bina Haji dan Umroh Nahdlatul Ulama (Asbihu-NU) KH Hafidz Taftazani di kantornya Jl. Basuki Rahmat, Kp. Melayu, Jakarta, Rabu 10 Desember 2014.

Dalam realitasnya, menurut Hafidz Taftazan, pembayaran Dam haji sudah ada sindikatnya. Tidak jarang jamaah haji di Saudi Arabia tertipu karena ketidaktahuannya kepada siapa pembayaran Dam haji harus diberikan.

Karena itu jika Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) berkeinginan melakukan pembayaran melalui kerja sama dengan IDB, perlu dilakukan sosialisasi. Latar-belakang dan manfaatnya harus jelas. Terlebih jika pembayarannya menggunakan dana Biaya Penyelenggaraan Haji Indonesia (BPIH) atau dana optimalisasi.

Atas pertanyaan apakah boleh kalau bayar dam di Indonesia, Hafidz Taftazani membolehkan. “Boleh saja bayar di Indonesia, tetapi siapa yang menangani, pemerintah? sementara pejabat pemerintah tidak diperbolehkan memobilisasi uang masyarakat karena ini bertentangan dengan UU keuangan Negara,” tegasnya.

Menurut Hafidz, Asbihu NU sebenarnya sudah sejak awal merencanakan mengumpulkan uang dam tetapi karena sulitnya meyakinkan jamaah bahkan jamaah sendiri tampaknya lebih suka bayar dam atau beli hewan dam melalui sindikat pemotongan dam. Padahal dengan bayar 450 real melalui KBIH jamaah sudah diberi bonus yakni digratiskan ziarah di Makkah dan makan siang selama perjalanan ziarah.

No comments :

Post a Comment