Azan Sebelum Berangkat Haji dan Umrah
Pada sebuah koran nasional ada
pertrnayaan bagaimana hukum azan sebelum berangkat haji. Seorang ustadz muda
langsung menjawabnya, bahwa berangkat haji dengan diawali azan dan iqamat itu
adalah bid'ah. Bahkan, ustad itu menyatakan, dalam haji sebaiknya meninggalkan
bid'ah agar tidak mengurangi pahala hajinya. Benarkah azan dan iqamat yang
dikumandangkan sebelum berangkat haji atau umrah itu bid'ah.
Tentum, para ulama kita dahulu tidak
gegabah mengamalkan ajaran agama. Mereka tidak sembarangan menerapkan ajaran
Islam tanpa ada dasar atau pelajaran dari anjuran ulama sebelumnya. Adzan dan
Iqamat sebelum berangkat haji udah lama ada dan sudah menjadi tradisi kita,
terutama kalangan Nahdliyyin. Para ulama itu tidak bodoh dan tentu memiliki
dasar yang mungkin belum diketahui oleh ustad muda yang hanya fanatik pada
bacaan hadis tertentu itu. Berbeda dengan ulama kita yang membaca semua hadis,
terutama yang sudah dirangkum oleh ulama-ulama sebelumnya.
Dasarnya adalah, pertama, berdasarkan
penjelasan kitab I’anatut Thalibin
yang ditulis oleh Mufti Mazhab Safi'i, Sayid Abu Bakar bin Syatha. Ia menulis:
"Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan
azan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih.
Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat
adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan
maksiat."
Kedua, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz
II, hal 36 disebutkan: "Dari riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu
Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia
mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada
Rasulullah, Rasul pun mengazani dan mengqamati. Hadis ini menurut Ibnu Sunni
mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Qarafi, dan
Al-Baihaqi."
Dalam penilaian Imam Al-Hafiz yang
dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Malang, hadis ini sahih.
Tentu, karena ada dasarnya tidak bisa
dikatakan bahwa azan dan iqamat sebelum berangkat haji dan umrah itu sebagai
bid’ah, bahkan telah menjadi sunnah.
Mubgkin, bisa kita terima jika ada
pendapat ahli hadis lain yang menyatakan hadis ini tidak sahih. Hal ini wajar
adanya perbedaan pendapat dan penilaian. Tapi, tidak menjadikan perbuatan azan
dan iqamat sebelum berangkat hajiitu bid’ah.
Seperti pendapat Syaikh Zaruq yang dikutip Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara
baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak. Pertama, jika perkara
baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara
tersebut bukan merupakan bid’ah.
Kedua,
diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang
telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan
dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama
masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti)
dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul
dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun
rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh,
khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu,
berarti bisa diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak
demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh
kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan
untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur,
dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat.
Apalagi, azan menjelang keberantgkatan untuk haji dan umrah
yang jelas ada hadisnya, seperti telah kami kutip di atas, yang jelas telah
menjadi sunnah.
(Musthafa Helmy, mengutip tulisan KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta dan KH AN Nuril Huda (Penasehat
Asbihu-NU))
No comments :
Post a Comment